Update Nasib 7 Terpidana Kasus Vina Cirebon Setelah MA Tegaskan PK Hanya Sekali,Tak Akan Menyerah

Posted on

– Rencana kuasa hukum 7 terpidana kasus Vina Cirebon mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kali kedua, tidak akan berjalan mulus.

Sebab, Mahkamah Agung sudah menegaskan bahwa upaya PK hanya bisa dilakukan satu kali.

Penegasan itu diucapkan Ketua Mahkamah Agung Sunarto saat konferensi pers evaluasi akhir tahun di gedung bundar pada JUmat (27/12/2024).

Saat itu ada seorang jurnalis mempertanyakan tentang boleh tidaknya PK diajukan lebih dari satu kali.

Sunarto menegaskan, sebenarnya PK hanya boleh diajukan satu kali karena merupakan upaya hukum luar biasa.

“Upaya hukum luar biasa adalah upaya hukum yang merupakan penghargaan diberikan negara yang sifatnya selektif. dan memang hanya satu kali PK itu,” tegasnya.

Namun, lanjut Sunarto, MA telah mengeluarkan surat edaran (SEMA) Nomor 10 tahun 2009 yang mengatur bahwa apabila ada pertentangan antara satu putusan dengan putusan yang lain, maka dibuka peluang untuk mengajukan PK dua kali.

“Jadi PK hanya satu kali, kalau tidak ada pertentangan maka tidak akan diterima, akan ditolak. Putusannya akan ditolak oleh MA. itu prinsipnya,” tegasnya.

Lalu, bagaimana dengan nasib 7 terpidana kasus Vina CIrebon yang permohonan PK nya ditolak MA?

Beberapa waktu lalu, kuasa hukum 7 terpidana kasus Vina Cirebon, Jutek Bongso saat ini tengah mengupayakan adanya bukti baru (novum) untuk diajukan dalam permohonan kembali (PK) ke-dua.

Novum yang kini dibidik pihanya adalah mengenai kesaksian palsu Aep dan Dede.

Seperti diketahui, dalam kesaksian tahun 2016, Aep dan Dede mengaku melihat sekelompok orang sedang mengejar dan melempari Eky dan Vina sebelum mereka ditemukan sekarat di Jembatan Talun.

Sekelompok pemuda ini kemudian dituduhkan kepada Hadi Saputra dan teman-temannya hingga mereka ditetapkan tersangka dan akhirnya divonis pidana seumur hidup.

Setelah 8 tahun berlalu, Dede mencabut keterangannya dan mengaku tidak ada apapun di malam kejadian.

Dede bahkan mengaku didekte Aep dan Iptu Rudiana untuk mengarang cerita tentang pengejaran tersebut.

Sementara Aep bersikukuh pada keterangan di tahun 2016.

Mengenai hal ini Jutek Bongso telah melaporkan Aep, Dede dan Iptu Rudiana ke Bareskrim Polri.

Laporan ini lah yang dibidik Jutek untuk menjadi bukti baru.

Dikatakan Jutek, Bareskrim Polri tidak akan bisa mngabaikan laporan ini karena satu pihak telah mencabut keterangannya.

Bareskrim Polri harus menguji mana keterangan yang benar, apakah Aep atau Dede.

“Saya yakin laporan ini akan lanjut karena ada pihak yang mengaku dan tidak mengaku. mana ya g benar, ini harus dibuktikan,” kata Jutek dalam pertemuan dengan Dedi Mulyadi dan keliarga para terpidana kasus Vina Cirebon pada Senin (16/12/2024).

Jika dalam proses hukumnya ternyata keterangan Dede yang benar, maka putusan ini lah yang nantinya akan dipakai sebagai novum.

Putusan yang bertentangan dengan putusan pokok kasus Vina Cirebon ini lah yang akan diajukan untuk PK.

Rencana ini mendapat dukungan Gubernur Jawa Barat terpilih, Dedi Mulyadi.

“Mudah-mudahan ada sesuatu yang melahirkan novum baru. Apakah Aep dan Dede berproses, ada vonis pengadilan yang membuktikan dede berbohong atau aep berbohong,” katanya.

Selain PK, menurut Dedi, cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengajukan amnesti dan abolisi.

Dalam pertemuan itu Aminah, keluarga terpidana meminta untuk bisa bertemu dengan Presiden Prabowo guna meminta tolong agar bisa membebaskan para terpidana.

“Kami ingin bertemu bapak presiden, minta tolong, bebaskan mereka. Kami gak ingin ganti rugi, kami cuma mau mereka bebas,” katanya.

Terkait hal ini, Dedi mengaku yang bisa memberikan saran kepada presiden adalah Otto Hasibuan yang kini menjadi Wakil Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM.

“Mudah-mudahan ada novum baru. Ada upaya amnesti dan abolisi pilihan terakhir.

Semangat terus, kasus ini gak boleh hilang ditelan zaman. Karena ini sesuatu yang sangat menciderai hukum di Indonesia. Orang tidak bersalah dipidana seumur hidup. Di era pak Harto saja, Sengkon dan Karta bisa bebas, tanpa sidang PK,” tegasnya.

Kalau saat ini para terpidana belum bebas, menurut Dedi hal itu tinggal menunggu waktu saja.

“Mungkin belum waktunya. Saya mohon maaf belum bsa memberikan yang terbaik,” tukasnya.


Reza Indragiri Sarankan Cara Ini

Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, buka suara soal putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) dari tujuh terpidana kasus pembunuhan terhadap Vina dan pacarnya, Eky.

Reza mendesak, berkaca dari putusan MA tersebut, perlunya peninjauan kembali atau judicial review agar terdakwa bisa mengajukan barang bukti ketika sidang.

Desakan ini, sambungnya, berkaca dari bebasnya atlet sepak bola Amerika atau American football, Orenthal James Simpson atau OJ Simpson, yang didakwa telah membunuh istrinya, Nicole Brown Simpson, pada 1993 silam.

Dari persidangan yang digelar tersebut, Reza mengungkapkan OJ Simpson bisa divonis bebas karena mengajukan bukti sendiri untuk dibandingkan dengan bukti yang disodorkan oleh penyidik.

Adapun hal tersebut dilakukan kubu OJ Simpson dengan cara pemberian akses kepada dirinya selaku terdakwa untuk menguji barang bukti yang dihadirkan penyidik dalam persidangan.

Hal ini, kata Reza, memang diperbolehkan dalam sistem hukum di Amerika Serikat (AS).

OJ Simpson pun dinyatakan bebas karena hakim lebih yakin dengan bukti yang diajukan olehnya ketimbang bukti dari penyidik.

“(Bukti) jaksa menggunakan DNA untuk meyakinkan hakim bahwa pelaku pembunuhan adalah tak lain tak bukan adalah OJ Simpson.”

“Namun, mekanisme hukum di Amerika Serikat, memungkinkan OJ Simpson alias terdakwa untuk mengakses barang bukti tersebut.”

“Sehingga, OJ Simpson melakukan uji tandingan atau cross examination terhadap barang bukti yang sama. Dengan demikian, di ruang sidang dihadirkan dua versi pembuktian saintifik.”

“Putusan hakim apa? Ternyata, hakim dalam kasus ini, lebih teryakinkan oleh pengujian saintifik oleh terdakwa sendiri sehingga OJ Simpson diputus bebas,” bebernya, dikutip dari YouTube Nusantara TV, Selasa (17/12/2024).

Reza pun menyayangkan cara semacam itu tidak tersedia dalam sistem hukum di Indonesia.

Pasalnya, dalam sistem hukum Indonesia, Reza mengatakan seluruh barang bukti yang tersedia pada suatu kasus dikuasai oleh penyidik.

Padahal, kata Reza, jika cara tersebut dipakai, maka terwujudlah kesetaraan di mata hukum.

“Sehingga prinsip fairness atau kesetaraan di hadapan hukum praktis bisa kita perdebatkan. Karena, barang bukti itu yang perlu diuji secara saintifik itu dikuasai sepenuhnya oleh penyidik dan tidak bisa diakses dengan mudah oleh terdakwa dalam rangka cross examination.”

“Itu artinya di ruang sidang yang mulia itu, praktis hanya disodorkan satu versi hasil saintifik yaitu versi penyidik. Terdakwa tidak bisa menyajikan uji saintifik tandingan yang bisa dipertimbangkan oleh hakim,” tegas Reza.

Terkait hal ini, Reza mengaku sudah mengusulkan kepada beberapa advokat agar melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait terdakwa bisa mengajukan barang bukti sendiri saat persidangan.

Dia mengungkapkan hal tersebut perlu dilakukan semata-mata demi terwujudnya keadilan di mata hukum.

“Saya sampaikan saran saya, sebelum PK, akan sangat konstruktif apabila teman-teman advokat mengubah aturan main di Indonesia ini yaitu lewat judicial review dulu di Mahkamah Konstitusi.”

“Agar akses terhadap barang bukti betul-betul dibuka oleh kedua belah pihak yaitu bagi penyidik yang lalu ditindaklanjuti oleh jaksa dan juga dibuka oleh terdakwa,” tegasnya.


>>Update berita terkini di Googlenews skitdeva